Hallo gaes. Selamat datang di Serba Cerita!
Rawa Pening merupakan sebuah danau yang menjadi salah satu obyek wisata di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Danau yang luasnya diperkirakan sekitar 2670 hektar ini berada antara Gunung Merbabu, Telomoyo, dan Ungaran. Rawa Pening menempati empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru.
Dan tahukah kalian, menurut kebanyakan orang, khususnya penduduk sekitar, Rawa Pening dipercaya terbentuk karena suatu peristiwa di masa lalu. Dan disini, di Channel Serba Cerita, Saya akan menceritakan Kisah atau asal-usul dari Rawa Pening. Jadi, Mari Berimajinasi... supaya wawasan kita semakin bertambah dan pesan dari cerita yang kalian dapat bisa menjadi refrensi dalam berkehidupan kalian.
Rawa Pening
Di sebuah desa bernama Ngasem, yang letaknya di antara Gunung Merbabu dan Telomoyo. tinggallah sepasang suami-istri yang bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta. Mereka hidup rukun dan selalu ramah kepada seluruh warga desa. Namun ada satu hal yang membuat mereka iri dengan warga lain, meskipun Sudah lama menikah, namun mereka belum dikarunia seorang anak.
Suatu hari, di depan rumahnya, Nyai Selakanta duduk termenung seorang diri. Ki Hajar yang melihatnya bingung dan langsung menghampiri Nyai Selakanta dan duduk di sampingnya.
“Istriku, kenapa kamu terlihat sedih begitu?” tanya Ki Hajar.
Nyai Selakanta tidak merespon. Melihat itu Ki Hajar langsung memegang pundak Istrinya dan kembali memanggilnya.
“Istriku?”
Nyai Selakanta terkejut setelah pundaknya dipegang. ia tersadar dari lamunannya dan menoleh ke arah Suaminya.
“Eh, Bapak,”
“Istriku, apa yang sedang kamu pikirkan?” Ki Hajar kembali bertanya.
“Tidak memikirkan apa-apa kok pak. Hanya saja, aku merasa agak kesepian, apalagi pas Bapak sedang pergi”. Nyai Selakanta terdiam sejenak, dan memalingkan wajahnya kedepan.
“Tidak memikirkan apa-apa kok pak. Hanya saja, aku merasa agak kesepian, apalagi pas Bapak sedang pergi”. Nyai Selakanta terdiam sejenak, dan memalingkan wajahnya kedepan.
“Andai saja di Rumah ini terdengar suara tangis dan rengekan seorang bayi, pasti rumah ini tidak akan sesepi ini.”
Mendengar ungkapan isi hati istrinya, Ki Hajar menghela nafas panjang.
“Sudahlah, Istriku. Barangkali belum waktunya Tuhan memberi kita anak. Yang penting kita harus berusaha dan terus berdoa kepada-Nya,” ujar Ki Hajar.
“Iya, Pak,” jawab Nyai Selakanta sambil meneteskan air mata.
Ki Hajar tak kuasa melihat Istrinya meneteskan air mata. Ia pun ikut sedih dan segera merangkul Istrinya. Setelah beberapa saat, Ki Hajar pun berkata kepada istrinya.
“Baiklah, Istriku. Jika memang engkau sangat menginginkan anak, izinkanlah Bapak pergi bertapa untuk memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa,” kata Ki Hajar.
Nyai Selakanta menyetujui permintaan suaminya itu. Maka Tinggallah kini Nyai Selakanta seorang diri dengan hati yang semakin sepi.
Hari demi hari Nyai Selakanta menunggu. Bulan demi bulan Ia selalu melihat ke luar pintu, namun sang suami belum juga kembali. Hati wanita itu pun mulai diselimuti perasaan cemas dan takut hal buruk mnimpa suaminya.
“Sudahlah, Istriku. Barangkali belum waktunya Tuhan memberi kita anak. Yang penting kita harus berusaha dan terus berdoa kepada-Nya,” ujar Ki Hajar.
“Iya, Pak,” jawab Nyai Selakanta sambil meneteskan air mata.
Ki Hajar tak kuasa melihat Istrinya meneteskan air mata. Ia pun ikut sedih dan segera merangkul Istrinya. Setelah beberapa saat, Ki Hajar pun berkata kepada istrinya.
“Baiklah, Istriku. Jika memang engkau sangat menginginkan anak, izinkanlah Bapak pergi bertapa untuk memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa,” kata Ki Hajar.
Nyai Selakanta menyetujui permintaan suaminya itu. Maka Tinggallah kini Nyai Selakanta seorang diri dengan hati yang semakin sepi.
Hari demi hari Nyai Selakanta menunggu. Bulan demi bulan Ia selalu melihat ke luar pintu, namun sang suami belum juga kembali. Hati wanita itu pun mulai diselimuti perasaan cemas dan takut hal buruk mnimpa suaminya.
Suatu hari, Nyai Selakanta merasa mual dan kemudian muntah-muntah. Ia pun berpikir bahwa dirinya sedang hamil. Dan benar saja, Semakin hari perutnya semakin membesar. Hingga tiba saatnya ia melahirkan. Namun, sangatlah terkejut dia setelah melihat anak yang dikandungnya ternyata seekor naga. Namun, meskipun begitu, ia tetap menerima dan mensyukuri anak yang telah ia lahirkan. Nyai Selakanta kemudian memberikan nama anaknya itu seperti nama tombak milik suaminya, yaitu Baru Klinting. Ajaibnya, meskipun berwujud seekor naga, Baru Klinthing bisa berbicara seperti manusia. Nyai Selakanta pun berniat untuk mengasingkan Baru Klinthing ke Bukit Tugur agar warga sekitar tidak mengetahui anaknya yang sekor naga. Tapi sebelum itu, ia akan merawatnya terlebih dahulu hingga besar agar dapat menempuh perjalanan jauh menuju lereng Gunung Telomoyo.
Setelah Baru Klinting tumbuh dewasa, Baru Klinting bingung karena sejak kecil ia tidak melihat ayahnya, hingga akhirnya ia memutuskan untuk bertanya kepada ibunya.
“Bu, apa Klinting mempunyai ayah?” tanyanya dengan polos.
Nyai Selakanta kaget mendengar pertanyaan Baru Klinting. Ia pun berpikir mungkin sekarang saatnya Baru Klinting mengetahui siapa ayahnya. “Iya, anakku. Ayahmu bernama Ki Hajar. Sekarang, ayahmu sedang bertapa di lereng Gunung Telomoyo. Pergilah dan temui dia. Bawalah pusaka tombak Baru Klinting milik ayahmu ini dan katakan bahwa kau anaknya. Niscaya Ia akan mempercayaimu.” Baru klinting pun menerima tombak itu. Setelah itu, ia berpamitan dengan Ibunya dan pergilah Baru menuju lereng Gunung Telomoyo. Sampai disana, ia memasuku Gua dan melihat seorang laki-laki duduk bersemedi. Mendengar suara berisik, pertapa itu pun bertanya.
“Hei, siapa itu?” Baru klinting mendekati pertapa itu dan langsung meminta maaf.
Setelah Baru Klinting tumbuh dewasa, Baru Klinting bingung karena sejak kecil ia tidak melihat ayahnya, hingga akhirnya ia memutuskan untuk bertanya kepada ibunya.
“Bu, apa Klinting mempunyai ayah?” tanyanya dengan polos.
Nyai Selakanta kaget mendengar pertanyaan Baru Klinting. Ia pun berpikir mungkin sekarang saatnya Baru Klinting mengetahui siapa ayahnya. “Iya, anakku. Ayahmu bernama Ki Hajar. Sekarang, ayahmu sedang bertapa di lereng Gunung Telomoyo. Pergilah dan temui dia. Bawalah pusaka tombak Baru Klinting milik ayahmu ini dan katakan bahwa kau anaknya. Niscaya Ia akan mempercayaimu.” Baru klinting pun menerima tombak itu. Setelah itu, ia berpamitan dengan Ibunya dan pergilah Baru menuju lereng Gunung Telomoyo. Sampai disana, ia memasuku Gua dan melihat seorang laki-laki duduk bersemedi. Mendengar suara berisik, pertapa itu pun bertanya.
“Hei, siapa itu?” Baru klinting mendekati pertapa itu dan langsung meminta maaf.
“Maafkan aku tuan, jika kedatanganku mengganggu ketenangan Tuan,”
Mendengar seekor naga berbicara, pertapa itu sontak kaget.
“Siapa kau dan kenapa kau bisa berbicara?” tanya pertapa itu.
“Saya Baru Klinthing tuan, Jika boleh tahu, apakah benar ini tempat pertapaan Ki Hajar?”
“Iya, aku Ki Hajar. Bagaimana kamu bisa tahu namaku?” tanya pertapa itu penasaran.
Mendengar jawaban itu, Baru Klinthing langsung bersembah sujud di depan ayahnya. Baru kemudian menjelaskan siapa dirinya. Awalnya, Ki Hajar tidak percaya jika dirinya memiliki anak berwujud naga. Baru pun menunjukkan pusaka Baru Klinthing yang ia bawa. Ki Hajar mulai percaya. Namun, ia belum yakin sepenuhnya. Hingga akhirnya Ki Hajar menyuruh Baru untuk melingkari Gunung Telomoyo sebagai bukti terakhir untuk membuktikan Ia benar-benar anaknya. Dan akhirnya Baru Pun bisa melakukannya.
Setelah itu, Ki Hajar memerintahkan anaknya untuk bertapa di Bukit Tugur agar anaknya bisa berubah menjadi manusia. Baru pun menyetujuinya, maka bertapalah dia di Bukit Tugur.
Suatu ketika, datanglah rombongan warga yang sedang berburu binatang. Rombongan ini berasal dari desa Pathok, tak jauh dari Bukit Tugur tempat Baru Klinting bertapa. Setelah beberapa lama mereka berburu tidak kunjung dapat, hingga akhirnya salah satu dari mereka melihat Baru Klinting yang seekor naga sedang bertapa. Mereka pun beramai-ramai menangkap Baru Klinting dan memotong-motong dagingnya lalu membawanya pulang untuk dijadikan hidangan pesta dalam acara Sedekah Bumi.
Saat lagi asyik berpesta, tiba-tiba datang seorang anak laki-laki berjalan di keramaian pesta. Anak ini di sekujur tubuhnya penuh dengan luka, dan baunya sangat amis. Ia berjalan meminta-minta untuk diberi makan.
“pak… bu… tolong beri saya makan… saya sangat lapar, sudah lama saya tidak makan”
“Makan, makan gundulmu…!. Cepat pergi dari sini! Tubuhmu amis sekali, bikin muntah saja, cepat pergi…! ”
Bukan makanan yang ia dapatkan, Namun justru cacian dan makian. Anak ini tak lain adalah jelmaan dari Baru Klinting. Baru klinting menitihkan air mata. Dengan perut keroncongan, ia berjalan sempoyongan hendak meninggalkan desa. Di tengah perjalanan, ia bertemu seorang janda tua yang bernama Nyi Latung.
“Hai, anak muda. Kenapa kamu tidak ikut berpesta?” tanya Nyi Latung.
“Disana aku di usir, semua orang jijik melihat tubuhku, Padahal, aku sangat lapar.” jawab Baru Klinthing,
Tak tega melihat baru Klinting. Nyai Latung memberikan makanan kepada Baru Klinting.
“Terima kasih, Nek, tak ku sangka masih ada warga yang baik hati di desa ini.” Puji baru Klinting.
“Iya, nak. Semua warga di sini bersifat angkuh. Mereka juga tidak mengundang Nenek ke pesta karena jijik melihat nenek,” ungkap Nyi Latung.
“yahh… Kalau, begitu. Mereka harus diberi pelajaran,” ujar Baru Klinthing. “nek, Jika nanti Nenek mendengar suara gemuruh, segeralah siapkan lesung kayu.”
Mendengar ungkapan Baru Klinting, Nenek itu terheran. Baru Klinthing kembali ke pesta dengan membawa sebatang lidi. Warga yang berpesta it uterus mencaci Baru Klinting, namun Baru menghiraukannya dan terus berjalan. Setiba di tengah keramaian, ia menancapkan lidi itu ke tanah.
“Wahai, kalian semua. Jika kalian merasa hebat, cabutlah lidi kecil yang kutancapkan ini!” tantang Baru Klinthing.
Merasa diremehkan, warga langsung beramai-ramai ingin mencabut lidi itu. awalnya, anak-anak yang disuruh mencabutnya, kemudian giliran kaum perempuan, hingga akhirnya kaum laki-laki yang dianggap kuat tetap saja tidak ada yang bisa mencabutnya.
“Ah, kalian semua payah. Mencabut lidi kecil saja tak bisa,” ejek Baru Klinthing.
warrga sangat kesal dengan ejekan Baru Klinthing. Lalu Baru Klinting segera mencabut lidi itu dan dengan mudahnya lidi itu tercabut. Begitu lidi tercabut, suara gemuruh menggentarkan seluruh isi desa. Beberapa saat kemudian, air menyembur keluar dari bekas tancapan lidi itu. Semakin lama semburan air semakin besar sehingga terjadilah banjir besar. Semua penduduk terplontang-planting lari untuk menyelamatkan diri. Namun, usaha mereka sudah terlambat karena banjir telah menenggelamkan mereka. Seketika, desa itu pun berubah menjadi danau atau rawa, yang kini dikenal dengan Rawa Pening.
Di sisi lain, usai mencabut lidi, Baru Klinthing segera berlari menemui Nyi Latung yang sudah menunggu di atas perahu dari lesung. dan, selamatlah ia bersama nenek itu. Setelah kejadian tersebut, Baru Klinthing kembali menjadi naga untuk menjaga Rawa Pening.
#Tamat#
Itulah Cerita Rakyat Asal-usul Rawa Pening, Gimana menurut kalian? Apa yang bisa kita ambil dari cerita ini? Silahkan berkomentar tentang pendapat kalian, Sobat SC!
Mendengar seekor naga berbicara, pertapa itu sontak kaget.
“Siapa kau dan kenapa kau bisa berbicara?” tanya pertapa itu.
“Saya Baru Klinthing tuan, Jika boleh tahu, apakah benar ini tempat pertapaan Ki Hajar?”
“Iya, aku Ki Hajar. Bagaimana kamu bisa tahu namaku?” tanya pertapa itu penasaran.
Mendengar jawaban itu, Baru Klinthing langsung bersembah sujud di depan ayahnya. Baru kemudian menjelaskan siapa dirinya. Awalnya, Ki Hajar tidak percaya jika dirinya memiliki anak berwujud naga. Baru pun menunjukkan pusaka Baru Klinthing yang ia bawa. Ki Hajar mulai percaya. Namun, ia belum yakin sepenuhnya. Hingga akhirnya Ki Hajar menyuruh Baru untuk melingkari Gunung Telomoyo sebagai bukti terakhir untuk membuktikan Ia benar-benar anaknya. Dan akhirnya Baru Pun bisa melakukannya.
Setelah itu, Ki Hajar memerintahkan anaknya untuk bertapa di Bukit Tugur agar anaknya bisa berubah menjadi manusia. Baru pun menyetujuinya, maka bertapalah dia di Bukit Tugur.
Suatu ketika, datanglah rombongan warga yang sedang berburu binatang. Rombongan ini berasal dari desa Pathok, tak jauh dari Bukit Tugur tempat Baru Klinting bertapa. Setelah beberapa lama mereka berburu tidak kunjung dapat, hingga akhirnya salah satu dari mereka melihat Baru Klinting yang seekor naga sedang bertapa. Mereka pun beramai-ramai menangkap Baru Klinting dan memotong-motong dagingnya lalu membawanya pulang untuk dijadikan hidangan pesta dalam acara Sedekah Bumi.
Saat lagi asyik berpesta, tiba-tiba datang seorang anak laki-laki berjalan di keramaian pesta. Anak ini di sekujur tubuhnya penuh dengan luka, dan baunya sangat amis. Ia berjalan meminta-minta untuk diberi makan.
“pak… bu… tolong beri saya makan… saya sangat lapar, sudah lama saya tidak makan”
“Makan, makan gundulmu…!. Cepat pergi dari sini! Tubuhmu amis sekali, bikin muntah saja, cepat pergi…! ”
Bukan makanan yang ia dapatkan, Namun justru cacian dan makian. Anak ini tak lain adalah jelmaan dari Baru Klinting. Baru klinting menitihkan air mata. Dengan perut keroncongan, ia berjalan sempoyongan hendak meninggalkan desa. Di tengah perjalanan, ia bertemu seorang janda tua yang bernama Nyi Latung.
“Hai, anak muda. Kenapa kamu tidak ikut berpesta?” tanya Nyi Latung.
“Disana aku di usir, semua orang jijik melihat tubuhku, Padahal, aku sangat lapar.” jawab Baru Klinthing,
Tak tega melihat baru Klinting. Nyai Latung memberikan makanan kepada Baru Klinting.
“Terima kasih, Nek, tak ku sangka masih ada warga yang baik hati di desa ini.” Puji baru Klinting.
“Iya, nak. Semua warga di sini bersifat angkuh. Mereka juga tidak mengundang Nenek ke pesta karena jijik melihat nenek,” ungkap Nyi Latung.
“yahh… Kalau, begitu. Mereka harus diberi pelajaran,” ujar Baru Klinthing. “nek, Jika nanti Nenek mendengar suara gemuruh, segeralah siapkan lesung kayu.”
Mendengar ungkapan Baru Klinting, Nenek itu terheran. Baru Klinthing kembali ke pesta dengan membawa sebatang lidi. Warga yang berpesta it uterus mencaci Baru Klinting, namun Baru menghiraukannya dan terus berjalan. Setiba di tengah keramaian, ia menancapkan lidi itu ke tanah.
“Wahai, kalian semua. Jika kalian merasa hebat, cabutlah lidi kecil yang kutancapkan ini!” tantang Baru Klinthing.
Merasa diremehkan, warga langsung beramai-ramai ingin mencabut lidi itu. awalnya, anak-anak yang disuruh mencabutnya, kemudian giliran kaum perempuan, hingga akhirnya kaum laki-laki yang dianggap kuat tetap saja tidak ada yang bisa mencabutnya.
“Ah, kalian semua payah. Mencabut lidi kecil saja tak bisa,” ejek Baru Klinthing.
warrga sangat kesal dengan ejekan Baru Klinthing. Lalu Baru Klinting segera mencabut lidi itu dan dengan mudahnya lidi itu tercabut. Begitu lidi tercabut, suara gemuruh menggentarkan seluruh isi desa. Beberapa saat kemudian, air menyembur keluar dari bekas tancapan lidi itu. Semakin lama semburan air semakin besar sehingga terjadilah banjir besar. Semua penduduk terplontang-planting lari untuk menyelamatkan diri. Namun, usaha mereka sudah terlambat karena banjir telah menenggelamkan mereka. Seketika, desa itu pun berubah menjadi danau atau rawa, yang kini dikenal dengan Rawa Pening.
Di sisi lain, usai mencabut lidi, Baru Klinthing segera berlari menemui Nyi Latung yang sudah menunggu di atas perahu dari lesung. dan, selamatlah ia bersama nenek itu. Setelah kejadian tersebut, Baru Klinthing kembali menjadi naga untuk menjaga Rawa Pening.
#Tamat#
Itulah Cerita Rakyat Asal-usul Rawa Pening, Gimana menurut kalian? Apa yang bisa kita ambil dari cerita ini? Silahkan berkomentar tentang pendapat kalian, Sobat SC!
Serba Cerita